LATTAKIA (Arrahmah.com) – Hari pertama tiba di kawasan Lattakia, Suriah, Kami
berjumpa dengan dua orang arab. Ciri fisik keduanya berbeda dengan orang-orang
Arab Suriah.
Di saat kami ingin menyapa mereka
berdua, salah seorang yang lebih muda dari keduanya menyapa Kami terlebih
dahulu, “Apa kabar? kamu orang Indonesia?” tanyanya dengan bahasa Indonesia
berlogat Arab, tentu kami kaget menemukan orang Arab di bumi jihad seperti ini
yang bisa berbahasa Indonesia.
***
Setelah berkenalan dengan keduanya,
Kami baru tahu ternyata keduanya adalah pejuang yang berasal dari Yaman.
Keduanya masuk ke Suriah dengan seorang dokter bernama Abu Abdillah.
Yang paling tua memperkenalkan
dirinya dengan nama Abu Utsman, sedangkan yang paling muda memperkenalkan
dirinya dengan Abu Hamzah. Menurut kisahnya, Abu Utsman telah memiliki empat
orang anak, yang paling besar umurnya 16 tahun. Lelaki yang berumur kisaran 45
tahun ini telah melalang buana ke berbagai bumi jihad. Ia pernah berjihad di
Afghanistan, awal-awal penyerbuan Amerika ke negeri Islam yang dipimpin
Thaliban itu.
Ia juga sempat berjihad di Somalia
dan Bosnia. Sebelum datang ke Suriah, sekian tahun berjihad membantu
saudara-saudara muslimnya di Chechnya melawan kaum Atheis yang merenggut
kehormatan wanita-wanita muslimah di sana dan memburu para laki-lakinya. Medan
jihad yang paling berat, menurut Abu Utsman, adalah medan jihad di Chechnya.
Sebab, setiap tahunnya hampir lima bulan penuh bumi Chechnya direndam salju.
Sedangkan Abu Hamzah, mujahid yang
berusia kisaran 35 tahun ini, pernah membantu saudara-saudaranya di Afghanistan
mengusir penjajah Amerika. Bapak yang anak satu ini ternyata memiliki darah
keturunan Indonesia, tepatnya di Aceh. “Mama saya dari Indonesia, papa dari
Yaman,” tuturnya dalam sebuah kesempatan.
“Bagaimana dengan keluarga Anda
berdua?” tanya saya suatu ketika. Keduanya serempak menjawab, “Mereka telah
mengikhlaskan kami untuk berjuang membantu saudara-saudara kami yang terdzalimi.
Adapun urusan mereka, kami serahkan semuanya kepada Allah, kami bertawakkal
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dia sebaik-baiknya penjaga.”
Bagi Kami yang belum begitu terasah
dengan dunia jihad dan pengorbanan, memaknai tawakkal seperti yang dipahami
oleh kedua mujahidin ini masih begitu susah, tetapi bagi pejuang-pejuang Suriah
baik lokal maupun pendatang dari negara tetangga, istilah tawakkal itu bukan
lagi teori yang dihafal dan ditulis, tetapi itu sudah menjadi keyakinan yang
sudah mengakar kuat dalam sanubari mereka.
Saat saya tanya, “Apakah kalian
merindukan keluarga?” Keduanya menjawab, ‘itu sudah manusiawi, tetapi
penderitaan yang dialami oleh saudara kami di bumi Syam ini, mengharuskan kami
untuk mengikhlaskan diri berpisah dengan keluarga-keluarga kami yang tercinta.”
“Yang sangat sulit bagi pejuang
adalah mengikhlaskan niat,” lanjut Abu Utsman. “Padahal pahala jihad sangat
tinggi, ia adalah puncak ibadah tertinggi dalam Islam,” Abu Hamzah menimpali.
Kemudian ia membacakan beberapa ayat
dan hadits terkait keutamaan jihad. “Semoga kehadiran kalian di sini ditulis
sebagai ibadah ribath dan jihad di sisi Allah,” kata Abu Hamzah mengakhiri
dialog kami setelah shalat maghrib berjama’ah di sore kala itu. “Aamin ya
Rabb,” jawab kami.
Abu Abdurrahman
Kontributor bumisyam.com, Suriah
Sumber: (siraaj/arrahmah.com)
No comments:
Post a Comment