Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,
***
Sesungguhnya
penciptaan makhluk –termasuk di dalamnya manusia –selalu sesuai dengan
kapasitas tugas dan kewajibannya. Itulah yang saya tangkap dari mutiara
ceramah Bapak F.X. Rusharyanto di Yogya beberapa tahun yang lalu.
Terus
terang saja, itu untuk pertama kalinya saya tersedak; antara terharu,
tersenyum, dan termenung. Keterpakuan yang membuat kalimat-kalimat
beliau terasa terus berngiang-ngiang di telinga saya.
“Saya mendapatkan hidayah dan masuk Islam,” katanya, “lewat mimpi.”
Waktu
itu, saya tak begitu respek. Entahlah, saya selalu berpendapat dangkal
pada orang-orang yang masuk Islam lewat mimpi; bertemu (katanya)
Rasulullah, orang berjubah putih, dan pengalaman-pengalaman supranatural
lainnya. Tentu saja –menurut saya-- hal ini tidak realistis. Saya
pikir, saat seseorang menentukan langkahnya, haruslah berproses dalam
pemikiran yang ilmiah.
Tetangga
saya masuk Islam gara-gara (katanya) mimpi bertemu Sunan Kalijaga.
Hanya sebegitu saja. Bertemu thok. Boro-boro kalau sempat berkenalan
atau bertukar alamat, berjabat tangan, apalagi ngobrol. Cuma bertemu
sebentar. Katanya, Sunan Kalijaga mengenakan jubah warna hijau kesukaan
beliau dan sedang berjalan entah ke mana. Paginya, dia masuk Islam.
Alangkah
mudahnya berganti akidah. Kalau dipikir, apa korelasi antara bertemu
Sunan Kalijaga dengan memeluk agama Islam? Toh, zaman dulu banyak orang
yang bertemu Sunan Kalijaga –malah –secara wadag.
Beruntung
saat itu dia mimpi bertemu Sunan Kalijaga. Bagaimana kalau dia bertemu
Hitler... atau Syeikh Siti Jenar? Wheladalah... bagaimana kalau dia
bertemu dengan Dewa Wisnu yang –walaupun kulitnya hitam arang- namun
gantengnya ngudubilah setan itu? Kalau besok dia ngelindur ketemu Dewi
Kwan Im, jangan-jangan terus memeluk Konghucu, atau lebih parah, menjadi
pengikut Sun Go Kong.
Kalau
seseorang memutuskan memeluk Islam setelah pergulatan pikiran,
nimbang-nimbang, mencari kebenaran... dan seterusnya yang akhirnya
membawanya pada pemahaman yang proporsional sekaligus mantap, maka
–menurut saya –keislamannya tidak perlu disangsikan. Saya acung jempol
untuk orang-orang semacam itu.
Apa istimewanya mimpi? Dijadikan patokan beli nomor buntut saja masih suka ngaco, apalagi untuk urusan besar yang berkait langsung dengan akhirat. Lha kok.... Karenanya, saya selalu memandang remeh ‘dalam tanda kutip’ untuk orang-orang seperti ini. Tapi, saya juga tidak ngoyoworo.
Contoh gampang saja, tetangga saya yang mimpi bertemu Sunan Kalijaga
itu nyatanya sampai sekarang –walaupun Islam –tidak shalat. Kalau shalat
tarawih sih iya, grubyag-grubyug pas malam bulan Ramadhan. Mungkin
karena lingsem atau bagaimana, yang jelas, hidungnya sering nampang di
masjid kalau bulan Ramadhan.
Saya tidak mengatakan bahwa agama terbebas dari hal-hal irrasional semacam
itu. Toh, takdir dan rezeki adalah sesuatu yang tak bisa diterjemahkan
secara letterlijk. Ruh, malaikat, jin... adalah mata pelajaran nonwadag
dalam kerangka kegaiban yang menjadi komponen kelengkapan iman. Tapi
bukan dalam arti juga agama adalah sesuatu yang mutlak irrasional.
Semuanya mesti ada dimensi-dimensinya. Cuma, kok ya masih susah juga saya memaklumi orang yang masuk Islam karena ketemu orang berjubah putih dan memakai sorban.
Kembali
pada materi ceramah Ustadz tadi. Singkat cerita, setiba beliau pada
kalimat yang menyatakan proses masuk Islamnya, saya langsung melengos
merasa tak begitu tertarik. Seperti saya katakan tadi, apa korelasi
antara mimpi bertemu bertemu Sunan Kalijaga dengan masuk Islam?
Ooo...
tapi tidak. Dalam ceramah yang saya ikuti dengan ogah-ogahan itu,
ternyata akhirnya saya harus tertohok pada pengembaraan pemikiran yang
menembus sisi-sisi ruhiyah saya. Dengarlah, mimpi apa yang begitu
dahsyat telah mengubah kemudi seorang F.X. Rusharyanto ini.
“Saya mimpi bertemu ayam,” katanya.
Ayam?
Benar-benar ayam? Kok, bukan Sunan siapa gitu atau kalau berani lebih
heboh, ketemu Rasulullah. Ayam sehebat apa yang bisa membuat beliau
masuk Islam?
“Benar-benar
ayam,” lanjutnya. “Jangan dulu tertawa dengan mimpi saya yang aneh.
Benar, ayam. Saya tidak bermimpi bertemu dengan Rasulullah, orang
berjubah putih, atau gadis cantik yang pakai jilbab.”
Lantas,
apa istimewanya ayam ini? Masih mendingan kalau mimpinya ketemu gadis
memakai kerudung seperti yang suka dipajang pada bandrol jilbab.
“Ayam ini bisa ngomong.”
Ooo... bisa ngomong. Kayak film kartun, dooong? Terus, apa kaitannya dengan Islam?
“Ayam itu berkata pada saya, ‘bacalah ayat-ayat Tuhan yang ada pada lututmu.’”
Entahlah, mungkin karena agak-agak seperti dongeng fabel ini, maka saya menjadi tertarik.
“Lutut?”
lanjut sang Ustadz. “Tidak ada ayat apa pun dalam lutut saya,’ begitu
bantah saya pada si ayam. Lantas, ayam itu melanjutkan kalimatnya,
‘Tidakkah kauperhatikan perbedaan antara lutut ayam dan lutut manusia?
Perhatikanlah wahai manusia dan bacalah. Tempurung lutut kalian
diciptakan Tuhan dan diletakkan di depan, berbeda dengan lutut ayam yang
diletakkan di belakang. Itu disebabkan kalian tidak diperintah Tuhan
untuk mengeram. Ayam diperintahkan untuk mengeram sehingga tubuhnya
disempurnakan untuk melaksanakan tugas itu.’ Cukup lama saya memikirkan
kalimat ayam itu sebelum kemudian saya bertanya, ‘Lantas, apa yang
diperintahkan pada manusia yang memiliki lutut di depan?’”
Nah, ini yang membuat saya mulai tertarik. Kenapa? Lantas apa jawaban si ayam?
“Ayam
itu,” lanjut beliau, “mengatakan, ‘kepada manusia, Tuhan memerintahkan
untuk rukuk dan sujud. Itulah kenapa lutut kalian diletakkan di depan,
bentuk kesempurnaan penciptaan di mana susunan yang demikian adalah
untuk melaksanakan perintah rukuk dan sujud.”
Subhanallah...
betapa saya selama ini tak pernah membaca ayat yang begini indah.
Lantas, berapa banyak lagi ayat yang belum dan tidak terbaca oleh
pikiran saya yang lemah ini?
Sungguh,
ilmu dan ayat Allah tak akan selesai ditulis kendati laut diubah
menjadi tinta dan digunakan untuk menulisnya, bahkan jika didatangkan
satu laut lagi sebagai tinta, dan satu laut lagi sebagai tinta, dan....
Allah,
pandang-Mu sajalah pandang yang tak terhalang. Ilmu-Mu saja ilmu yang
tak berujung. Setiap yang didapati pada manusia, hanyalah sepersekian
debu-Mu. Ampunilah kesombongan dan kelemahan kami. Amin.
Sakti Wibowo
No comments:
Post a Comment