**

Thursday, March 28, 2013

Mengapa Barat Memilih Ateis (2)

Oleh: Kholili HasibKekecewaan Barat terhadap agamnya bertambah ketika mengingat sejarah kelam otoritas Gereja pada abad pertengahan. Mereka seakan dihantui trauma kekejaman lembaga inquisisi Gereja. Sebelum zaman Revolusi, Gereja, menurut beberapa sarjana Barat telah menyalah gunakan otoritasnya.

Inquisisi adalah institusi Gereja yang sangat kejam menghukum orang-orang heretic dan orang yang menentang hukum Bibel. Sebagai wakil Tuhan di bumi, Gereja berhak menghukum penganut Kristen yang membangkang. Para Pendeta juga berhak mengampuni dosa manusia




Seorang ilmuan Galileo Galileo dihukum karena menyebarkan teori heliocentric yaitu teori yang menyatakan matahari adalah pusat tata surya. Temuan Galileo ini bertentangan dengan Bibel bahwa bumi adalah pusat tata surya dan berbentuk datar. Karena khawatir iman umat Kristiani tergoyahkan oleh temuan Galileo, maka Galileo dipaksa mencabut pernyataan bahwa matahari adalah pusat tata surya. Di depan Mahkamah Gereja, Galileo terpaksa menyatakan janji tidak akan mempertahankan dan menyebarkan temuannya tersebut.


Nasib Galileo masih mendingan dibanding kaum Kristen heretic. Mereka disiksa dengan sangat kejam. Di dalam ruang Gereja disiapkan tempat khusus untuk penyiksaan. Peter de Rosa, seorang tokoh Gereja, menyebut kekejian institusi Inquisisi sangat luar biasa di luar batas kemanusiaan. Suatu hari pasukan Spanyol menemukan mayat-mayat berlumuran darah dalam keadaan telanjang dan dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Sampai-sampai tentara Spanyol ngeri menyaksikan ruang penyiksaan inquisisi tersebut.

Kekecewaan Barat terhadap agama tidak hanya disebabkan kerancuan konsep ketuhanan dan kekejaman otoritas Gereja. Bibel sebagai kitab suci juga dianggap sumber masalah. Bahasa, isi dan sejarah Bibel mulai diperdebatkan ketika para pengkritik menemukan keganjilan isi Bibel.

Sampai kini belum ditemukan naskah asli berbahasa Ibrani atau Aram. Bahasa Injil yang menjadi rujukan penerjemahannya pun bukan bahasa yang digunakan oleh Yesus. Rujukan penerjemahannya adalah berbahasa Greek (Yunani). Injil Perjanjian Baru (The New Testament) ditulis dalam kurun waktu yang sangat panjang, kurang lebih 300 tahun setelah wafatnya Yesus, dan ditulis oleh berbagai pengarang dalam berbagai bahasa dan versi. Pada saat itu tidak kurang dari 40 jenis karangan yang ditulis. Lamanya rentang waktu penulisan ini sangat rawan pemalsuan dan kesalahan.

Injil saat ini pun adalah hasil voting Konsili Nicea. Pada tahun 331 M, pasca-Konsili Nicea, di bawah kuasa dan pengawasan Kaisar Roma Konstantin, ditetapkanlah Injil Resmi seperti yang kita kenal sekarang ini. Injil Perjanjian baru itu adalah (Injil Markus, Matius, Lukan dan Yohanes). Injil resmi Kaisar Roma tersebut dinamakan Injil Kanonik, sedangkan Injil-Injil lain dibakar dan dimusnahkan

Standar apa yang dipakai Kaisar Roma tersebut untuk menyeleksi berbagai versi Injil, tidak jelas. Hingga kini bahasa Injil asli masih misteri yang tidak bisa dipecahkan. Saat ini ada sekitar 5000 manuskrip teks Bibel dalam bahasa Greek, yang berbeda satu dengan lainnya.

Berangkat dari kontroversi ajaran Kristen ini, Barat kemudian memberontak. Agama dianggap sumber masalah. Sebagai konsekuensinya, mereka membuat tembok pemisah antara agama dengan  aspek-aspek kehidupan.

Lahirlah paham sekularisme, liberalisme dan humanisme. Sekularisme dianggap sebagai solusi dalam menjalani kehidupan orang Barat. Karena dengan sekuler Barat terlepas dari dogma-dogma agama yang mengkungkung kebebasan akal.

Segala problematika tidak harus dikembalikan pada agama secara kaku. Manusia yang memiliki akal berhak mengatur kehidupannya sendiri tanpa campur tangan hukum Tuhan. Manusia adalah segalanya. Bahkan paham humanisme mengajak manusia untuk berpaling dari Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan dipandang akan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat.

Paham humanisme ini berkembang cukup pesat di Barat. Agama tidak lagi memberi solusi, namun sebalikanya menciptakan problematika yang pelik. Lebih dari itu, keyakinan religius dipandang sebagai faktor yang menciptakan konflik antar manusia. Maka, tidak salah jika seorang ilmuan Barat Jack Nelson Pallymeyer gelisah ketika menyaksikan kekejaman perilaku manusia atas nama Tuhan. Dalam bukunya "Is Religion Killing Us" ia menyebut Islam, Kristen dan Yahudi telah melakukan kejahan terhadap manusia melalui doktrin kitab sucinya.

Pandangan Nelseon ini sebenarnya muncul dari rasa trauma Barat terhadap ajaran Gereja.

Paham Sekularisme, Liberalisme dan Humanisme ini pada dasarnya menggiring orang Barat pada Ateisme. Arus Liberalisasi dan humanisasi agama, telah memberi peluang orang Barat untuk menafsirkan agama sesuai dengan logikanya. Humanisme adalah aliran filsafat modern yang memberi ruang kebebasa manusia untuk menafsirkan arti Tuhan. Menrurut aliran ini, manusia adalah pusat dari segala hal, bukan Tuhan. Maka, bermain-main dengan agama dan konsep ket-Tuhan-an bukan lagi menjadi keharaman. Bahkan pernah ditemukan seorang Barat mentato pantatnya dengan nama Yesus.

Fenomena Ateisme telah menjadi tren masyarakat Barat Postmodern. Beberapa laporan menunjukkan Gereja Eropa saat ini semakin sepi. Itu pun diisi dengan orang-orangtua. Bahkan karena kosong, sejumlah Gereja di Belanda dijual. Beberapa orang masih mengakui eksistensi Tuhan, tapi menolak untuk beragama.

Bagi yang masih memiliki naluri keberagamaan yang kuat, ia lari kepada agama-agama lain yang mengajarkan aspek spiritual. Fenomena ini semestinya disambut dangan cerdas oleh umat Islam. Peluang mengembangkan ajaran Islam di Eropa semakin lama terbuka lebar. Oleh Karena itu kita tunggu da’i-da’i yang bersedia menyelamatkan Barat dari paham Ateisme yang kering akan nilai-nilai spiritual ini.*

Penulis adalah peneliti pada InPAS Surabaya

Sumber: Hidayatullah.com

 Red: Cholis Akbar 
***

No comments:

Post a Comment

****